Mungkin
terdengar seperti cerita-cerita sinetron di televisi, tapi sayangnya,
“drama” ini memang benar-benar terjadi pada kehidupan saya. Awalnya
ketika saya bertemu dengan gerombolan teman kecil, teman sepermainan
ketika masih duduk di bangku SMP dulu. Ternyata, di antara anak lelaki
masa lalu yang biasa berlarian bersama di sekolah, ada dia yang bisa
mencuri perhatian dan hati saya. Salim, begitu ia biasa ia dipanggil.
Tampilannya yang selalu terlihat dewasa ditambah kacamata melekat di
wajah, membuat sosok lelaki yang ketika masa kecil tidak pernah saya
perhatikan tiba-tiba terlihat sangat berkharisma di hadapan saya.
Gayung
bersambut, ternyata perasaan saya tidak bertepuk sebelah tangan. Tidak
lama setelah pertemuan kami saat itu, kami pun menjalin hubungan cinta.
Layaknya orang yang baru pacaran, semua terasa indah. Apapun ingin
dilakukan bersama dengan si dia. Membangun mimpi indah di masa depan pun
tidak lepas dari bahan pembicaraan kami berdua. Ya, hanya ada aku dan
dia di dunia ini. Hanya ada kami. Kegiatan saya sebagai pekerja kantoran
dan Salim sebagai pengusaha kecil sama sekali tidak mengganggu hubungan
kami. Kami saling dukung dalam hal moril dan meteril. Ketika usaha
Salam nyaris bangkrut, saya bersyukur bisa berada di sampingnya dan
membantunya kembali bangkit lewat pinjaman dana yang saya berikan.
Jangankan hanya uang, demi cinta, apapun saya berikan. Ya, alasan klise
perempuan memang, demi cinta. Hingga, saya pun berbuat terlalu jauh
dengannya. Kami pun pernah melakukan hubungan suami-istri.
hingga saat itu tiba...